Selasa, 01 Desember 2015

Artikel Lengkap Tentang Perang Asimetris

Penjelasan Perang "Asimetris/Asymmetric"
Lebih Jelasnya "DOWNLOAD" (Format M.S Word)

PENGERTIAN
Perang Asimetris atau Asymmetric warfare, adalah suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim, dan di luar aturan peperangan yang berlaku, dengan spektrum perang yang sangat luas dan mencakup aspek-aspek astagatra (perpaduan antara trigatra-geografi, demografi, dan sumber daya alam, dan pancagatra-ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Perang asimetris selalu melibatkan peperangan antara dua aktor atau lebih, dengan ciri menonjol dari kekuatan yang tidak seimbang.
Rujukan lain menyatakan:
“Perang asimetris“ dapat digambarkan sebagai konflik di mana sumber daya dari dua pihak yang berperang berbeda dalam esensi dan dalam perjuangan, berinteraksi dan berusaha untuk mengeksploitasi kelemahan karakteristik masing-masing.
Perjuangan seperti itu sering melibatkan strategi dan taktik perang konvensional, kombatan pihak yang “lemah” akan mencoba menggunakan strategi untuk mengimbangi kekurangan dalam kuantitas atau kualitas. Strategi tersebut belum tentu menggunakan militerisasi. Ini berbeda dengan perang simetris, di mana dua kubu memiliki kekuatan militer dan sumber daya yang sama dan mengandalkan taktik yang mirip secara keseluruhan, hanya berbeda dalam rincian dan eksekusi.

“Ini adalah jenis perang yang lain, baru dalam intensitasnya, kuno dalam asal-mulanya. Perang oleh gerilyawan, pemberontak, pengacau, pembunuh; perang dengan dadakan, bukan dengan pertempuran terorganisir; dengan penyusupan, bukan dengan agresi; mencari kemenangan dengan merontokkan dan menyusutkan musuh, bukan dengan menghadapinya…  Mereka memanfaatkan kerusuhan ekonomi dan konflik etnis, mereka berusaha berada dalam situasi yang harus kita masuki. Ini adalah tantangan yang ada di depan kita jika kebebasan harus diselamatkan; suatu strategi yang seluruhnya baru, jenis kekuatan yang seluruhnya berbeda, dan oleh karena itu memerlukan bentuk pelatihan militer yang baru sama sekali.”  
Kutipan diatas tidak diucapkan oleh Presiden Obama untuk mengomentari keonaran di berbagai belahan dunia, namun oleh Presiden John F. Kennedy saat memberikan sambutan di West Point tahun 1962. Perang jenis baru ini kemudian dikenal sebagai perang asimetris, yaitu perang antar dua pihak dengan kekuatan yang kurang lebih seimbang, menggunakan strategi dan taktik yang kurang lebih sama, hanya teknis operasional dan kemampuan memanfaatkan medan yang menentukan siapa pihak yang menang. 
Konsep Perang Asimetris
Dalam berbagai literatur pertahanan dan hubungan internasional, istilah asimetris diartikan sebagai perbedaan yang signifikan dalam “kekuatan” dari aktor-aktor yang berlawanan dalam suatu konflik. Kekuatan tersebut diartikan sebagai kekuatan material, seperti tentara profesional berjumlah besar, senjata canggih, ekonomi maju, dan sebagainya. Perang asimetris mencakup konflik antarnegara dan antarkelompok (biasa disebut perang sipil atau perang saudara). Sedangkan perang simetris, di mana dua pihak memiliki kekuatan militer dan sumber daya yang sama, menggunakan taktik yang mirip secara keseluruhan, hanya berbeda dalam detail dan eksekusinya.
Perang asimetris sering disebut juga dengan perang gerilya, pemberontakan, terorisme, konflik intensitas rendah, perang generasi ke 4, perang irreguler, dsb. Perang asimetris juga merupakan konflik yang melibatkan kekerasan, antara militer formal di satu pihak melawan pihak lain yang informal dan  tidak didukung pasukan bersenjata lengkap namun memiliki militansi yang tinggi. Dalam perang asimetris, ke dua pihak berusaha untuk mengeksploitasi kelemahan lawan dengan menggunakan strategi dan taktik perang konvensional maupun non-konvensional. Pihak yang lebih lemah berusaha menggunakan strategi yang lebih jitu untuk mengimbangi kekurangannya dalam kuantitas atau kualitas militer. Strategi pihak yang lemah menghindari tindakan secara militer, yang merupakan kekuatan pihak lawan.
 Bagaimana negara kecil bisa mengalahkan negara besar dijelaskan oleh Mack (1975). Menurutnya, kemenangan negara kecil atas negara besar disebabkan oleh ketidakmauan negara kecil menghadapi negara besar sesuai terminologi negara besar. Sebaliknya, negara kecil menggunakan terminologi perang yang tidak konvensional dalam menghadapi negara besar, yaitu perang gerilya, terorisme kota, atau bahkan tindakan non-kekerasan. Namun selain itu, penyebab kekalahan negara besar dari negara kecil adalah menurunnya kapabilitas politik negara besar itu untuk berperang. Kapabilitas politik yang menurun itu antara lain disebabkan oleh meningkatnya aksi sosial menentang perang, seperti yang terjadi di AS pada tahun 1960an. 


Kesiapan menghadapi Perang Asimetris

Dari mempelajari pengalaman banyak negara menghadapi perang asimetris,   Robinson et al. (2014) menyimpulkan perlunya penyesuaian terhadap praktek dan sistem yang ada sebelumnya. Perubahan itu setidaknya meliputi aspek-aspek perencanaan, kelembagaan, operasi, insentif, keterampilan, kekuatan sipil dan koordinasi. Tabel berikut menguraikan tindakan yang diperlukan untuk menghadapi perang asimetris yang perlu dilakukan oleh pihak yang lebih kuat.

Perang Asimetris Pasca PD II
Perang asimetris skala besar yang terjadi pada era setelah Perang Dunia II, selain perang Vietnam  diantaranya adalah Perang Saudara Sri Lanka, Perang antara Israel dan Palestina, dan Perang Saudara di Suriah.  Berikut adalah uraian singkat tentang ke tiga  perang asimetris tersebut. Sebagai catatan perang asimetris yang paling dahsyat pada 20 tahun terakhir ini adalah kejadian 11 September 2001 di New York, di mana sekelompok orang menabrakkan pesawat terbang komersial yang dibajaknya ke dua gedung kembar yang menjadi lambang keperkasaan (ekonomi) Amerika Serikat, yang menelan korban 3.000 orang.
• Perang Saudara di Sri Langka meletus pada tahun 1983, antara pemerintah Sri Lanka dan Tentara Pembebasan Tamil Eelam (LTTE). Perang dimulai dengan pemberontakan LTTE terhadap Pemerintah dan berkembang menjadi konflik besar-besaran, melibatkan perang gerilya dan perang konvensional. LTTE mempelopori penggunaan bom, yang puncaknya dilakukan oleh pembom bunuh diri pria atau wanita,  baik di dalam maupun di luar medan perang; menggunakan perahu yang penuh dengan bahan peledak untuk menghancurkan kapal-kapal militer; serta penggunaan pesawat-pesawat ringan yang menargetkan instalasi militer. Hasil akhirnya, pemberontakan dapat diatasi dan Sri Langka tetap utuh.
• Perang antara Israel dan Palestina yang sudah berlangsung selama puluhan tahun adalah kasus klasik perang asimetris yang berkepanjangan. Israel memiliki tentara angkatan darat, udara dan laut yang kuat, dengan alutsista canggih yang dapat mengalahkan Palestina (khususnya Hamas). Namun, Palestina menggunakan taktik asimetris, seperti serbuan dadakan, tembakan lintas-perbatasan, serangan roket, bom bunuh diri, dan menurut PM Israel Benyamin Netanyahu (Fitch, 2014): “We use missiles to protect civilians; Hamas use civilians to protect their missiles.” Hingga saat ini, konflik Israel-Palestina masih berlangsung.
• Perang di Suriah yang terjadi sejak tahun 2012 hingga sekarang, juga merupakan perang asimetris. Koalisi Nasional Suriah bersama dengan Mujahidin dan Partai Uni Demokratik Kurdi berjuang melawan Pemerintah Suriah melalui cara-cara asimetris untuk menumbangkan kekuasaan Presiden Hafez al As’ad. Para pemberontak tidak mampu terlibat secara simetris menghadapi tentara Suriah sehingga melakukan taktik non-konvensional seperti bom bunuh diri, penyerbuan target-target tertentu, dsb. Konflik antara pemerintah dengan pemberontak berlangsung lama, sampai kemudian muncul ISIS yang memerangi pemerintah Suriah dan Irak sekaligus untuk mendirikan negara sendiri. Sampai saat ini, perang di Suriah juga masih berlangsung.
Fenomena perang asimetris di berbagai negara tersebut mendorong tumbuhnya pemikiran bagaimana menjelaskan “keunggulan” pihak lemah sehingga dapat memenangkan peperangan dengan pihak yang lebih kuat.

STRATEGI
Dalam perang konvensional, kekuatan musuh mudah sekali diperkirakan kuantitas maupun kualitasnya, misalkan tentang kekuatan komando dan pengendaliannya. Sehingga strategi yang hendak digunakan relatif mudah dipelajari dan dibaca, sehingga dapat digunakan untuk dasar-dasar mengantisipasinya. Namun dalam perang asimetris hal ini sebaliknya. Sangat sulit bagi kita memprediksi kekuatan musuh, secara kuantitas dan kualitas.
Beberapa taktik yang memungkinkan hasil positif dalam perang asimetris, antara lain:
1. Satu sisi dapat memiliki keunggulan teknologi yang melebihi keuntungan numerik dari musuh; yang menentukan English Longbow sebagai contoh adalah pada Pertempuran Crécy atau Battle of Crécy.
2. Inferioritas teknologi atau technological inferiority,  biasanya dibatalkan olehinfrastruktur yang lebih rentan yang dapat ditargetkan dengan hasil yang dahsyat.Penghancuran beberapa sumber listrik, jalan atau sistem pasokan air di daerah padat penduduk bisa memiliki efek buruk terhadap perekonomian dan moral, sementara pada kubu yang lemah mungkin tidak memiliki struktur ini sama sekali.
3. Pelatihan dan taktik serta teknologi dapat membuktikan, menentukan dan memungkinkan kekuatan yang lebih kecil untuk mengatasi sesuatu yang jauh lebih besar. Sebagai contoh, selama beberapa abad, penggunaan hoplite Yunani atau Greek hoplite’s (untuk infanteri berat) mereka membuat dan memakai phalanx yang jauh lebih unggul dari musuh-musuh mereka. The Battle of Thermopylae, yang juga melibatkan penggunaan medan perang yang baik, adalah contoh yang terkenal.

4. Jika daya yang rendah berada dalam posisi membela diri; yaitu, diserang atau dijajah, sangat dimungkinkan untuk menggunakan taktik yang tidak konvensional,seperti taktik ‘serang lalu pergi’ (hit–and-run) dan juga pertempuran selektif dikalakekuatan superior lebih lemah, cara yang efektif menghajar namun tanpa melanggarhukum peperangan. Mungkin sebagai contoh sejarah klasik, doktrin ini dapat ditemukan dalam Perang Revolusi Amerika (the American Revolutionary War), sebuah gerakan dalam Perang Dunia II, seperti Perlawanan Perancis (French Resistance) dan partisan perang Soviet dan Yugoslavia. Perlawanan terhadap negara-negara agresor yang demokratis, strategi ini dapat digunakan untuk ‘bermain’ padakesabaran para pelaku dalam konflik (seperti dalam Perang Vietnam dan perang-perang setelahnya) dengan cara memprovokasi para kontra dan para perselisihanantara legislator yang terpilih.

5. Jika kubu yang berdaya rendah berada dalam posisi yang agresif, dan / atauberubah menjadi taktik yang dilarang oleh hukum perang (jus in bello),keberhasilannya tergantung pada kekuatan menahan diri dari atasan, seperti taktik.Sebagai contoh, hukum perang darat melarang penggunaan bendera gencatan senjataatau kendaraan medis sebagai kamuflase atau penutup untuk melakukan serangan atau penyergapan, namun pejuang asimetris menggunakan taktik yang dilarang ini untuk keuntungan, tergantung pada ketaatan dan kekuatan superior terhadap hukumyang sesuai. Demikian pula, hukum perang melarang kombat yang menggunakanpemukiman sipil, berpopulasi atau fasilitas sebagai pangkalan militer, tetapi ketikakubu yang berdaya rendah menggunakan taktik ini, semua itu tergantung pada premisbahwa kekuatan superior akan menghormati hukum dan pihak yang lain melanggar,dan tidak akan menyerang target sipil, atau jika mereka melakukan propaganda yangakan memberikan keuntungan lebih besar daripada kerugian material. Seperti yang terlihat pada sebagian besar konflik yang terjadi pada abad ke-20 dan abad ke-21, ini sangat tidak mungkin karena keuntungan propaganda selalu melebihi kepatuhan terhadap hukum internasional, terutama dengan mendominasi sisi konflik apapun.
6. Seperti disebutkan kali ini, adalah konflik Israel–Palestina adalah salah satu contohterbaru dari perang asimetris. Mansdorf dan Kedar menjelaskan bagaimana perangIslam menggunakan status asimetris-nya untuk mendapatkan keuntungan taktisterhadap Israel. Mereka merujuk pada mekanisme “psikologis” yang digunakan oleh pasukan seperti Hizbullah dan Hamas yang mau mengeksploitasi warga sipil mereka sendiri serta warga sipil musuh untuk mendapatkan keuntungan taktis, sebagian dengan cata menggunakan media untuk mempengaruhi jalannya peperangan.
Pada sisi lain menurut tipologi terdapat strategi ideal yang digunakan dalam perang asimetris berdasarkan para aktor yang berperang :
1. Untuk aktor yang kuat strategi yang digunakan dengan penyerangan : direct attack and barbarism (serangan langsung yang brutal).
2. Untuk aktor yang lemah strategi yang digunakan dengan pertahanan : direct defense and guerrilla warfare strategy (pertahanan langsung dan perang strategi gerilya).
TINGKAT KEBERHASILAN
Berdasarkan data yang dilaporkan dapat kita simak adanya suatu fakta yang mengejutkan tentang tingkat keberhasilan dalam perang asimetris berdasarkan aktor yang bermain:
Terlihat bahwa makin ke arah sekarang dan yang akan datang adanya trend aktor perang asimetris yang lemah semakin memiliki peluang memenangkan perang ini lebih tinggi.
Hal ini tentu menjadi kajian yang menarik untuk para pemain perang asimetris dalam menyusun strategi yang lebih andal, karena aktor yang kuat bisa saja terkalahkan dengan olah strategi yang handal oleh pemain yang lemah.
BAGAIMANA DI INDONESIA?
Indonesia sesungguhnya telah menjadi sasaran perang asimetris. Penyebaran berita, acara, dan pentas-pentas yang merusak mental SDM Indonesia itu sudah merupakancontoh nyata adanya perang asimetris di Indonesia.
Strategi ini tergolong murah tanpa mengeluarkan biaya mahal, bahkan malah mengeruk uang rakyat, karena perang asimetris ini tidak menggunakan banyak senjata, cukup dengan menggegerkan media dengan Lady Gaga, isu provokatif stabilitas keamanan Negara sudah digoyang.
Dengan digunakannya strategi asimetris oleh sebuah negara untuk melumpuhkan lawannya bukan berarti kekuatan konvensional tidak diterapkan lagi. Justru untuk mengantisipasi gagalnya upaya melemahkan suatu negara, pola perang kombinasi juga sering digunakan.
Jadi hard power dan soft power digunakan secara cantik secara bersama, dengan kehebatan mind power di belakangnya.
Contoh perang konvensional yang mengembang, dapat kita lihat di Libya saat penumbangan Khadafy. Ketika strategi non-konvensional yang dilancarkan masih dianggap kurang mampu menundukkan Libya, AS lalu merubah strateginya dari non-konvensional menjadi konvensional dengan segera menyiapkan mesin-mesin perang yang dimilikinya beserta NATO untuk menggebuk kekuatan militer Libya yang masih bercokol dan mendapat dukungan dari sebagian rakyatnya.
Alasan awalnya adalah NFZ yaitu dari bahasa Polandia: Narodowy Fundusz Zdrowia atau ‘Zona Larangan Terbang’, atau dalam bahasa Inggris: A no-fly zone (no-flight zone), tapi itu sesungguhnya adalah kedok untuk mencapai tujuan sebenarnya.
Sedangkan sejarah perang di Indonesia juga mencatat, selama konflik RI – Permesta berlangsung, AS dengan dalih menjaga ladang minyaknya selalu berusaha masuk ke wilayah indonesia, melihat gelagat tidak beres yang ditunjukkan AS terhadap Indonesia TNI berusaha menggagalkan upaya tersebut dengan sesegera mungkin mengamankan ladang-ladang minyak AS sebelum sengaja dihancurkan oleh pemberontak Permesta yang bersekongkol dengan AS.
Dengan begitu AS sudah dapat dipastikan tidak akan dapat masuk ke wilayah RI karena tidak memiliki alasan kuat sebagai pembenarnya. Perlu diketahui, AS sudah menyiapkan Armada VII dekat perairan Singapura dan terus melakukan manuver perang sebagai langkah persiapan memasuki wilayah indonesia.
Indonesia dulu berbeda dengan Indonesia sekarang, saat ini Indonesia bagi AS sudah dianggap sebagai “Good Boy” sehingga strategi konvensional masih belum saatnya disiapkan melihat tekanan dan lobi-lobi AS yang diberikan dengan dalih menjaga kestabilan kawasan masih bisa di turuti/diikuti oleh pemerintah indonesia.
Jadi cukup dengan strategi Asimetris saja, AS sudah mampu menggoncangkan pemerintah indonesia lewat isu, informasi, kebebasan, budaya, ekonomi, narkoba, korupsi dan lain sebagainya.
Seperti yang kita ketahui, Menurut Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Samsoedin bahwa dunia strategi dan pertahanan sedang memasuki babakan baru, yakni perang asimetris.
”Kita harus menanggalkan cara berpikir perang konvensional. Banyak hal yang terjadi tanpa disadari adalah dampak perang asimetri. Media digunakan sedemikian rupa mengumbar sensasi. Perang asimetri itu bukan menghadapkan senjata dengan senjata atau tentara melawan tentara,” ujarnya. (Kompas 28/3/2011)
Wamenhan mengingatkan, negara yang secara ekonomi dan kesenjataan lemah adalah sasaran utama perang asimetris. Sebagai contoh, media internet atau media massa tanpa sadar dipakai untuk memengaruhi cara berpikir atau melemahkan bangsa Pemberitaan dua media Australia mengenai kebijakan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan situasi politik di indonesia beberapa waktu lalu juga termasuk upaya pemerintah Australia dalam melancarkan strategi Asimetris dengan tujuan menggoyahkan stabilitas pemerintah indonesia lewat jaringan informasi. Karena saat ini begitu mudah semua informasi diakses lewat media jaringan seperti Youtube, Tweeter, Facebook, Media Cetak maupun Elektronik.
Indonesia sendiri sebenarnya memiliki daftar panjang dijadikan sasaran perang asimetris. Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Indonesia terus melakukan perang asimetris terhadap pendudukan Belanda hingga 1950, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), krisis Timor-Timur, Gerakan Pengacau Keamanan di Papua, dan lainnya.
Seorang pakar, Tamrin, dalam salah satu presentasinya yang berjudul “Perang Asimetris, Tanggapan dan Penajaman”, membahas mengenai ancaman asimetris di bidang sosial-budaya dan agama, menyatakan beberapa argumentasi bahwa yang pertama adalah tidak meratanya persebaran suku-suku di Indonesia.
Seperti diketahui, di Indonesia terdapat 653 suku bangsa. Akan tetapi dari Sumatra hingga Jawa (kecuali Sumatra Selatan) hanya terdapat beberapa suku mayoritas. Sebaliknya di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, banyak sekali suku bangsa yang menghuni satu kota. Bahkan setengan dari jumlah suku bangsa berada di Papua. Ini dapat menjadi ancaman disintegrasi.
Ancaman lainnya, bangunan keras: demokratisasi, desentralisasi, dan pemekaran wilayah. Desentralisasi pada saat ini, kata Tamrin, sudah kebablasan. Pemekaran juga luar biasa.
Di Lombok misalnya, dari sembilan menjadi 18 kelurahan. Banyak sekali gubernur-gubernur yang tidak berkinerja. Yang terakhir adalah bangunan lunak: kebangsaan, konstitusi, negara dan agama.
Menurut Manuel Castells di dalam bukunya, The Power of Identity: The Information Age Economy, Society and Culture, kata Tamrin, dahulu negara adalah pihak satu-satunya yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dan memaksa. Namun sekarang, negara mendapat saingan kelompok yang bahkan membuat negara tidak berkutik, yaitu terorisme lokal, fundamentalis agama dan suku.
Pakar lainnya, Fayakhun Andriadi, yang membawakan presentasi “Asymetric Warfare Strategy”, memaparkan mengenai pengaruh teknologi informasi dan komunikasi terhadap perang asimetris. Menurut dia, teknologi informasi dan komunikasi semakin meningkat, dan menduduki peranan utama dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya, teknologi informasi telah menjadi sesuatu yang bernilai sekaligus dapat menjadi senjata perusak.
“Sekarang ini, lini pertempuan akan bergeser ke lini informasi. Bombardir informasi akan membentuk citra yang tertanam di kawasan lawan dan akan melemahkan posisi lawan,” katanya.
Ia mencontohkan ketika Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet terlibat perang dingin yang memuncak di tahun 1980-an. Sungguh naif jika dikatakan Soviet hancur secara alamiah.
Justru, AS melancarkan asymetric warfare terhadap Soviet. Amerika dan negara-negara barat pandai memainkan strateginya dalam perang informasi yang lebih bersifat psychological warfare. Secara ideologi, kemunculan glasnost dan perestroika sudah berhasil menyerang ideologis komunis yang telah lama menjadi perekat kesatuan Soviet.
Lembaga dan Pasukan Khusus
Pada tahun 2006 Gordon R. Sullivan (Jenderal Purn. AS) menyatakan bahwa:
Warfare today has taken on a new form and grown to new levels. The type of warfare is not new, and few of the tactics are new. What is new is that this type of war has recently reached a global level—and the United States and its allies have found themselves ill prepared. Many strategists and theorists have attempted to grasp the concept of the war we are facing today, yet none have adequately given it definition and understanding.  
Menyadari kekurang-siapan ini, berbagai upaya pembenahan dan penyesuaian dilakukan untuk terus meningkatkan kesiapan Angkatan Bersenjata AS dalam menghadapi perang asimetris. Center for Asymmetric Warfare (CAW) dan Asymmetric Warfare Group (AWG) adalah contoh upaya yang dilakukan AS menghadapi perang asimetris.
APA YANG HARUS KITA LAKUKAN?
Fahami lebih mendalam tentang perang asimetris, strategi dan penerapannya, sebelum semuanya menjadi terlambat. Karena waktu terus bergulir dan para aktor semakin banyak bergentayangan.
Nasionalisme harus terus digelorakan, demi terjaganya keberadaan WNI yang bermartabat yang selalu ikut menjaga dan mempertahankan negara bangsanya agar semakin jaya dalam bingkai NKRI sampai kapanpun. (sumber: mardoto.com)
CATATAN Oleh : Kolonel Sus Drs. Mardoto, M.T. (Dosen Akademi Angkatan Udara /

Referensi:
Wikipedia – Asymmetric warfare
The Jakarta Post – 
Asymmetric warfare, a clearand present threat
http://www.army.mil/article/36989/Asymmetric_Warfare_Group/Buffaloe,  David L., Defining Asymmetric Warfare, A National Security Affairs Paper, No. 58 September 2006.
Fitch, Ed; Asymmetric Warfare Evolves in Tragic Directions, Special to the Vancouver Sun, July 14, 2014.
[http://www.vancouversun.com/news/Opinion+Asymmetric+warfare+evolves+tragic+directions/10029388/story.html]
Robinson, Linda et.al; Lessons from 13 Years of War Point to a Better U.S. Strategy, RAND Corporation, 2014 [http://www.rand.org/pubs/research_briefs/RB9814.html].
Mack, Andrew, Why Big Nations Lose Small Wars: The Politics of Asymmetric Conflict, World Politics Volume 27/Issue 02, January 1975 
[http://web.stanford.edu/class/polisci211z/2.2/Mack%20WP%201975%20Asymm%20Conf.pdf]
The Center for Asymmetric Warfare: http://www.cawnps.org/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar