Penjelasan Perang "Asimetris/Asymmetric"
Perang Asimetris atau Asymmetric warfare, adalah
suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim,
dan di luar aturan peperangan yang berlaku, dengan spektrum perang yang sangat
luas dan mencakup aspek-aspek astagatra (perpaduan antara trigatra-geografi,
demografi, dan sumber daya alam, dan pancagatra-ideologi, politik, ekonomi,
sosial, dan budaya). Perang asimetris selalu melibatkan peperangan antara dua
aktor atau lebih, dengan ciri menonjol dari kekuatan yang tidak seimbang.
“Perang asimetris“ dapat digambarkan sebagai konflik di
mana sumber daya dari dua pihak yang
berperang berbeda dalam esensi dan dalam perjuangan, berinteraksi dan berusaha untuk mengeksploitasi kelemahan karakteristik masing-masing.
Perjuangan seperti itu sering melibatkan strategi
dan taktik perang konvensional, kombatan pihak yang “lemah” akan mencoba
menggunakan strategi untuk mengimbangi kekurangan
dalam kuantitas atau kualitas. Strategi
tersebut belum tentu menggunakan militerisasi. Ini berbeda
dengan perang simetris, di mana dua
kubu memiliki kekuatan militer dan sumber daya yang
sama dan mengandalkan taktik yang mirip secara keseluruhan, hanya berbeda dalam rincian
dan eksekusi.
“Ini adalah jenis perang yang lain, baru
dalam intensitasnya, kuno dalam asal-mulanya. Perang oleh gerilyawan,
pemberontak, pengacau, pembunuh; perang dengan dadakan, bukan dengan
pertempuran terorganisir; dengan penyusupan, bukan dengan agresi; mencari
kemenangan dengan merontokkan dan menyusutkan musuh, bukan dengan menghadapinya…
Mereka memanfaatkan kerusuhan ekonomi dan konflik etnis, mereka berusaha
berada dalam situasi yang harus kita masuki. Ini adalah tantangan yang ada di
depan kita jika kebebasan harus diselamatkan; suatu strategi yang seluruhnya
baru, jenis kekuatan yang seluruhnya berbeda, dan oleh karena itu memerlukan
bentuk pelatihan militer yang baru sama sekali.”
Kutipan diatas tidak
diucapkan oleh Presiden Obama untuk mengomentari keonaran di berbagai belahan
dunia, namun oleh Presiden John F. Kennedy saat memberikan sambutan di West
Point tahun 1962. Perang jenis baru ini kemudian dikenal sebagai perang
asimetris, yaitu perang antar dua pihak dengan kekuatan yang kurang lebih
seimbang, menggunakan strategi dan taktik yang kurang lebih sama, hanya teknis
operasional dan kemampuan memanfaatkan medan yang menentukan siapa pihak yang
menang.
Konsep Perang Asimetris
Dalam berbagai
literatur pertahanan dan hubungan internasional, istilah asimetris diartikan
sebagai perbedaan yang signifikan dalam “kekuatan” dari aktor-aktor yang
berlawanan dalam suatu konflik. Kekuatan tersebut diartikan sebagai kekuatan
material, seperti tentara profesional berjumlah besar, senjata canggih, ekonomi
maju, dan sebagainya. Perang asimetris mencakup konflik antarnegara dan
antarkelompok (biasa disebut perang sipil atau perang saudara). Sedangkan
perang simetris, di mana dua pihak memiliki kekuatan militer dan sumber daya
yang sama, menggunakan taktik yang mirip secara keseluruhan, hanya berbeda
dalam detail dan eksekusinya.
Perang asimetris
sering disebut juga dengan perang gerilya, pemberontakan, terorisme, konflik
intensitas rendah, perang generasi ke 4, perang irreguler, dsb. Perang
asimetris juga merupakan konflik yang melibatkan kekerasan, antara militer
formal di satu pihak melawan pihak lain yang informal dan tidak didukung
pasukan bersenjata lengkap namun memiliki militansi yang tinggi. Dalam perang
asimetris, ke dua pihak berusaha untuk mengeksploitasi kelemahan lawan dengan
menggunakan strategi dan taktik perang konvensional maupun non-konvensional.
Pihak yang lebih lemah berusaha menggunakan strategi yang lebih jitu untuk
mengimbangi kekurangannya dalam kuantitas atau kualitas militer. Strategi pihak
yang lemah menghindari tindakan secara militer, yang merupakan kekuatan pihak
lawan.
Bagaimana negara kecil
bisa mengalahkan negara besar dijelaskan oleh Mack (1975). Menurutnya,
kemenangan negara kecil atas negara besar disebabkan oleh ketidakmauan negara
kecil menghadapi negara besar sesuai terminologi negara besar. Sebaliknya,
negara kecil menggunakan terminologi perang yang tidak konvensional dalam
menghadapi negara besar, yaitu perang gerilya, terorisme kota, atau bahkan
tindakan non-kekerasan. Namun selain itu, penyebab kekalahan negara besar dari
negara kecil adalah menurunnya kapabilitas politik negara besar itu untuk
berperang. Kapabilitas politik yang menurun itu antara lain disebabkan oleh
meningkatnya aksi sosial menentang perang, seperti yang terjadi di AS pada
tahun 1960an.
Kesiapan menghadapi Perang Asimetris
Dari mempelajari pengalaman banyak
negara menghadapi perang asimetris, Robinson et al. (2014) menyimpulkan
perlunya penyesuaian terhadap praktek dan sistem yang ada sebelumnya. Perubahan
itu setidaknya meliputi aspek-aspek perencanaan, kelembagaan, operasi,
insentif, keterampilan, kekuatan sipil dan koordinasi. Tabel berikut
menguraikan tindakan yang diperlukan untuk menghadapi perang asimetris yang
perlu dilakukan oleh pihak yang lebih kuat.
Perang
Asimetris Pasca PD II
Perang asimetris skala
besar yang terjadi pada era setelah Perang Dunia II, selain perang Vietnam
diantaranya adalah Perang Saudara Sri Lanka, Perang antara Israel dan
Palestina, dan Perang Saudara di Suriah. Berikut adalah uraian singkat
tentang ke tiga perang asimetris tersebut. Sebagai catatan perang
asimetris yang paling dahsyat pada 20 tahun terakhir ini adalah kejadian 11
September 2001 di New York, di mana sekelompok orang menabrakkan pesawat
terbang komersial yang dibajaknya ke dua gedung kembar yang menjadi lambang
keperkasaan (ekonomi) Amerika Serikat, yang menelan korban 3.000 orang.
• Perang Saudara di
Sri Langka meletus pada tahun 1983, antara pemerintah Sri Lanka dan Tentara
Pembebasan Tamil Eelam (LTTE). Perang dimulai dengan pemberontakan LTTE
terhadap Pemerintah dan berkembang menjadi konflik besar-besaran, melibatkan
perang gerilya dan perang konvensional. LTTE mempelopori penggunaan bom, yang
puncaknya dilakukan oleh pembom bunuh diri pria atau wanita, baik di
dalam maupun di luar medan perang; menggunakan perahu yang penuh dengan bahan
peledak untuk menghancurkan kapal-kapal militer; serta penggunaan
pesawat-pesawat ringan yang menargetkan instalasi militer. Hasil akhirnya,
pemberontakan dapat diatasi dan Sri Langka tetap utuh.
• Perang antara Israel
dan Palestina yang sudah berlangsung selama puluhan tahun adalah kasus klasik
perang asimetris yang berkepanjangan. Israel memiliki tentara angkatan darat,
udara dan laut yang kuat, dengan alutsista canggih yang dapat mengalahkan
Palestina (khususnya Hamas). Namun, Palestina menggunakan taktik asimetris,
seperti serbuan dadakan, tembakan lintas-perbatasan, serangan roket, bom bunuh
diri, dan menurut PM Israel Benyamin Netanyahu (Fitch, 2014): “We use missiles
to protect civilians; Hamas use civilians to protect their missiles.” Hingga
saat ini, konflik Israel-Palestina masih berlangsung.
• Perang di Suriah
yang terjadi sejak tahun 2012 hingga sekarang, juga merupakan perang asimetris.
Koalisi Nasional Suriah bersama dengan Mujahidin dan Partai Uni Demokratik
Kurdi berjuang melawan Pemerintah Suriah melalui cara-cara asimetris untuk
menumbangkan kekuasaan Presiden Hafez al As’ad. Para pemberontak tidak mampu
terlibat secara simetris menghadapi tentara Suriah sehingga melakukan taktik
non-konvensional seperti bom bunuh diri, penyerbuan target-target tertentu,
dsb. Konflik antara pemerintah dengan pemberontak berlangsung lama, sampai
kemudian muncul ISIS yang memerangi pemerintah Suriah dan Irak sekaligus untuk
mendirikan negara sendiri. Sampai saat ini, perang di Suriah juga masih
berlangsung.
Fenomena perang
asimetris di berbagai negara tersebut mendorong tumbuhnya pemikiran bagaimana
menjelaskan “keunggulan” pihak lemah sehingga dapat memenangkan peperangan
dengan pihak yang lebih kuat.
STRATEGI
Dalam perang konvensional, kekuatan
musuh mudah sekali diperkirakan kuantitas maupun kualitasnya, misalkan tentang
kekuatan komando dan pengendaliannya. Sehingga strategi yang hendak digunakan
relatif mudah dipelajari dan dibaca, sehingga dapat digunakan untuk dasar-dasar
mengantisipasinya. Namun dalam perang asimetris hal ini sebaliknya. Sangat
sulit bagi kita memprediksi kekuatan musuh, secara kuantitas dan kualitas.
Beberapa taktik yang memungkinkan hasil
positif dalam perang asimetris, antara lain:
1. Satu sisi dapat memiliki keunggulan
teknologi yang melebihi keuntungan numerik dari musuh; yang menentukan English Longbow sebagai contoh adalah pada
Pertempuran Crécy atau Battle of Crécy.
2. Inferioritas teknologi atau technological inferiority, biasanya dibatalkan olehinfrastruktur yang
lebih rentan yang dapat ditargetkan dengan hasil yang
dahsyat.Penghancuran beberapa sumber listrik, jalan atau sistem pasokan air di
daerah padat penduduk bisa memiliki efek buruk terhadap
perekonomian dan moral, sementara pada
kubu yang lemah mungkin tidak memiliki struktur ini sama
sekali.
3. Pelatihan
dan taktik serta teknologi dapat
membuktikan, menentukan dan memungkinkan kekuatan yang lebih
kecil untuk mengatasi sesuatu yang jauh
lebih besar. Sebagai contoh, selama beberapa abad, penggunaan hoplite Yunani
atau Greek hoplite’s (untuk infanteri berat) mereka membuat dan memakai phalanx yang jauh
lebih unggul dari musuh-musuh mereka. The Battle
of Thermopylae, yang juga
melibatkan penggunaan medan perang yang baik, adalah contoh yang terkenal.
4. Jika
daya yang rendah berada dalam posisi membela diri; yaitu, diserang atau
dijajah, sangat dimungkinkan untuk menggunakan
taktik yang tidak konvensional,seperti taktik ‘serang lalu pergi’ (hit–and-run) dan juga pertempuran selektif dikalakekuatan superior lebih
lemah, cara yang efektif menghajar
namun tanpa melanggarhukum peperangan. Mungkin sebagai contoh sejarah klasik, doktrin
ini dapat ditemukan dalam Perang Revolusi Amerika (the
American Revolutionary War), sebuah gerakan dalam
Perang Dunia II, seperti Perlawanan Perancis
(French Resistance) dan partisan
perang Soviet dan Yugoslavia. Perlawanan terhadap negara-negara agresor yang
demokratis, strategi ini dapat digunakan untuk
‘bermain’ padakesabaran para pelaku dalam konflik (seperti
dalam Perang Vietnam dan perang-perang setelahnya) dengan cara memprovokasi para kontra dan para
perselisihanantara legislator yang terpilih.
5. Jika kubu yang
berdaya rendah berada dalam posisi yang agresif, dan / atauberubah menjadi taktik yang
dilarang oleh hukum perang (jus in bello),keberhasilannya tergantung
pada kekuatan menahan
diri dari atasan, seperti taktik.Sebagai
contoh, hukum perang darat melarang
penggunaan bendera gencatan senjataatau
kendaraan medis sebagai kamuflase atau penutup
untuk melakukan serangan atau penyergapan, namun pejuang asimetris menggunakan taktik yang
dilarang ini untuk keuntungan, tergantung pada ketaatan dan kekuatan superior terhadap hukumyang
sesuai. Demikian pula, hukum perang melarang kombat
yang menggunakanpemukiman sipil, berpopulasi atau
fasilitas sebagai pangkalan militer, tetapi ketikakubu yang berdaya rendah menggunakan taktik
ini, semua itu tergantung pada premisbahwa
kekuatan superior akan menghormati hukum dan pihak yang lain melanggar,dan tidak akan menyerang target sipil, atau jika
mereka melakukan propaganda yangakan
memberikan keuntungan lebih besar daripada kerugian material. Seperti yang terlihat pada sebagian
besar konflik yang terjadi pada abad ke-20
dan abad ke-21, ini sangat tidak
mungkin karena keuntungan propaganda selalu melebihi kepatuhan
terhadap hukum internasional, terutama dengan
mendominasi sisi konflik apapun.
6. Seperti
disebutkan kali ini, adalah konflik Israel–Palestina adalah salah satu contohterbaru
dari perang asimetris. Mansdorf dan Kedar menjelaskan
bagaimana perangIslam menggunakan
status asimetris-nya untuk mendapatkan keuntungan taktisterhadap
Israel. Mereka merujuk pada mekanisme “psikologis” yang
digunakan oleh
pasukan seperti Hizbullah dan Hamas yang mau mengeksploitasi warga
sipil mereka sendiri serta warga sipil musuh untuk
mendapatkan keuntungan taktis, sebagian dengan
cata menggunakan media untuk mempengaruhi jalannya peperangan.
Pada sisi lain menurut tipologi terdapat
strategi ideal yang digunakan dalam perang asimetris berdasarkan para aktor
yang berperang :
1. Untuk aktor yang
kuat strategi yang digunakan dengan penyerangan : direct attack and
barbarism (serangan langsung yang brutal).
2. Untuk aktor yang
lemah strategi yang digunakan dengan pertahanan : direct defense and
guerrilla warfare strategy (pertahanan langsung dan perang strategi gerilya).
TINGKAT KEBERHASILAN
Berdasarkan data yang dilaporkan dapat
kita simak adanya suatu fakta yang mengejutkan tentang tingkat keberhasilan
dalam perang asimetris berdasarkan aktor yang bermain:
Terlihat bahwa makin ke arah sekarang
dan yang akan datang adanya trend aktor perang asimetris yang lemah semakin
memiliki peluang memenangkan perang ini lebih tinggi.
Hal ini tentu menjadi kajian yang
menarik untuk para pemain perang asimetris dalam menyusun strategi yang lebih
andal, karena aktor yang kuat bisa saja terkalahkan dengan olah strategi yang
handal oleh pemain yang lemah.
BAGAIMANA DI
INDONESIA?
Indonesia sesungguhnya
telah menjadi sasaran perang asimetris. Penyebaran berita, acara, dan
pentas-pentas yang merusak mental SDM Indonesia itu sudah merupakancontoh
nyata adanya perang asimetris di Indonesia.
Strategi ini tergolong murah tanpa
mengeluarkan biaya mahal, bahkan malah mengeruk uang rakyat, karena perang
asimetris ini tidak menggunakan banyak senjata, cukup dengan menggegerkan media
dengan Lady Gaga, isu provokatif stabilitas keamanan Negara sudah digoyang.
Dengan digunakannya strategi asimetris
oleh sebuah negara untuk melumpuhkan lawannya bukan berarti kekuatan
konvensional tidak diterapkan lagi. Justru untuk mengantisipasi gagalnya upaya
melemahkan suatu negara, pola perang kombinasi juga sering digunakan.
Jadi hard
power dan soft power digunakan secara cantik secara
bersama, dengan kehebatan mind power di belakangnya.
Contoh perang konvensional yang
mengembang, dapat kita lihat di Libya saat penumbangan Khadafy. Ketika strategi
non-konvensional yang dilancarkan masih dianggap kurang mampu menundukkan
Libya, AS lalu merubah strateginya dari non-konvensional menjadi konvensional
dengan segera menyiapkan mesin-mesin perang yang dimilikinya beserta NATO untuk
menggebuk kekuatan militer Libya yang masih bercokol dan mendapat dukungan dari
sebagian rakyatnya.
Alasan awalnya adalah
NFZ yaitu dari bahasa Polandia: Narodowy Fundusz Zdrowia atau
‘Zona Larangan Terbang’, atau dalam bahasa Inggris: A no-fly zone (no-flight zone), tapi itu sesungguhnya
adalah kedok untuk mencapai tujuan sebenarnya.
Sedangkan sejarah perang di Indonesia
juga mencatat, selama konflik RI – Permesta berlangsung, AS dengan dalih
menjaga ladang minyaknya selalu berusaha masuk ke wilayah indonesia, melihat
gelagat tidak beres yang ditunjukkan AS terhadap Indonesia TNI berusaha
menggagalkan upaya tersebut dengan sesegera mungkin mengamankan ladang-ladang
minyak AS sebelum sengaja dihancurkan oleh pemberontak Permesta yang
bersekongkol dengan AS.
Dengan begitu AS sudah dapat dipastikan
tidak akan dapat masuk ke wilayah RI karena tidak memiliki alasan kuat sebagai
pembenarnya. Perlu diketahui, AS sudah menyiapkan Armada VII dekat perairan
Singapura dan terus melakukan manuver perang sebagai langkah persiapan memasuki
wilayah indonesia.
Indonesia dulu berbeda
dengan Indonesia sekarang, saat ini Indonesia bagi AS sudah dianggap
sebagai “Good Boy” sehingga strategi konvensional masih belum
saatnya disiapkan melihat tekanan dan lobi-lobi AS yang diberikan dengan dalih
menjaga kestabilan kawasan masih bisa di turuti/diikuti oleh pemerintah
indonesia.
Jadi cukup dengan strategi Asimetris
saja, AS sudah mampu menggoncangkan pemerintah indonesia lewat isu, informasi,
kebebasan, budaya, ekonomi, narkoba, korupsi dan lain sebagainya.
Seperti yang kita ketahui, Menurut Wakil
Menteri Pertahanan Sjafrie Samsoedin bahwa dunia strategi dan pertahanan sedang
memasuki babakan baru, yakni perang asimetris.
”Kita harus menanggalkan cara berpikir perang konvensional. Banyak hal yang
terjadi tanpa disadari adalah dampak perang asimetri. Media digunakan
sedemikian rupa mengumbar sensasi. Perang asimetri itu bukan menghadapkan
senjata dengan senjata atau tentara melawan tentara,” ujarnya. (Kompas
28/3/2011)
Wamenhan mengingatkan, negara yang
secara ekonomi dan kesenjataan lemah adalah sasaran utama perang asimetris.
Sebagai contoh, media internet atau media massa tanpa sadar dipakai untuk
memengaruhi cara berpikir atau melemahkan bangsa Pemberitaan dua media
Australia mengenai kebijakan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan situasi
politik di indonesia beberapa waktu lalu juga termasuk upaya pemerintah
Australia dalam melancarkan strategi Asimetris dengan tujuan menggoyahkan
stabilitas pemerintah indonesia lewat jaringan informasi. Karena saat ini begitu mudah semua informasi diakses lewat media jaringan
seperti Youtube, Tweeter, Facebook, Media Cetak maupun Elektronik.
Indonesia sendiri sebenarnya memiliki
daftar panjang dijadikan sasaran perang asimetris. Sejak proklamasi kemerdekaan
Indonesia pada 17 Agustus 1945, Indonesia terus melakukan perang asimetris
terhadap pendudukan Belanda hingga 1950, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), krisis
Timor-Timur, Gerakan Pengacau Keamanan di Papua, dan lainnya.
Seorang pakar, Tamrin,
dalam salah satu presentasinya yang berjudul “Perang Asimetris,
Tanggapan dan Penajaman”, membahas mengenai ancaman asimetris di bidang
sosial-budaya dan agama, menyatakan beberapa argumentasi bahwa yang pertama
adalah tidak meratanya persebaran suku-suku di Indonesia.
Seperti diketahui, di Indonesia terdapat
653 suku bangsa. Akan tetapi dari Sumatra hingga Jawa (kecuali Sumatra Selatan)
hanya terdapat beberapa suku mayoritas. Sebaliknya di Kalimantan, Sulawesi, dan
Papua, banyak sekali suku bangsa yang menghuni satu kota. Bahkan setengan dari
jumlah suku bangsa berada di Papua. Ini dapat menjadi ancaman disintegrasi.
Ancaman lainnya, bangunan keras:
demokratisasi, desentralisasi, dan pemekaran wilayah. Desentralisasi pada saat
ini, kata Tamrin, sudah kebablasan. Pemekaran juga luar biasa.
Di Lombok misalnya, dari sembilan
menjadi 18 kelurahan. Banyak sekali gubernur-gubernur yang tidak berkinerja.
Yang terakhir adalah bangunan lunak: kebangsaan, konstitusi, negara dan agama.
Menurut Manuel
Castells di dalam bukunya, The Power of Identity: The Information Age
Economy, Society and Culture, kata Tamrin, dahulu negara adalah pihak
satu-satunya yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dan memaksa. Namun
sekarang, negara mendapat saingan kelompok yang bahkan membuat negara tidak
berkutik, yaitu terorisme lokal, fundamentalis agama dan suku.
Pakar lainnya,
Fayakhun Andriadi, yang membawakan presentasi “Asymetric Warfare
Strategy”, memaparkan mengenai pengaruh teknologi informasi dan komunikasi
terhadap perang asimetris. Menurut dia, teknologi informasi dan komunikasi
semakin meningkat, dan menduduki peranan utama dalam kehidupan sehari-hari.
Karenanya, teknologi informasi telah menjadi sesuatu yang bernilai sekaligus
dapat menjadi senjata perusak.
“Sekarang ini, lini pertempuan akan
bergeser ke lini informasi. Bombardir informasi akan membentuk citra yang
tertanam di kawasan lawan dan akan melemahkan posisi lawan,” katanya.
Ia mencontohkan ketika Amerika Serikat
(AS) dan Uni Soviet terlibat perang dingin yang memuncak di tahun 1980-an.
Sungguh naif jika dikatakan Soviet hancur secara alamiah.
Justru, AS
melancarkan asymetric warfare terhadap Soviet. Amerika dan
negara-negara barat pandai memainkan strateginya dalam perang informasi yang
lebih bersifat psychological warfare. Secara ideologi, kemunculan glasnost dan perestroika sudah
berhasil menyerang ideologis komunis yang telah lama menjadi perekat kesatuan
Soviet.
Lembaga dan Pasukan Khusus
Pada tahun 2006 Gordon
R. Sullivan (Jenderal Purn. AS) menyatakan bahwa:
Warfare today has
taken on a new form and grown to new levels. The type of warfare is not new,
and few of the tactics are new. What is new is that this type of war has
recently reached a global level—and the United States and its allies have found
themselves ill prepared. Many strategists and theorists have attempted to grasp
the concept of the war we are facing today, yet none have adequately given it
definition and understanding.
Menyadari
kekurang-siapan ini, berbagai upaya pembenahan dan penyesuaian dilakukan untuk
terus meningkatkan kesiapan Angkatan Bersenjata AS dalam menghadapi perang
asimetris. Center for Asymmetric Warfare (CAW) dan Asymmetric Warfare Group
(AWG) adalah contoh upaya yang dilakukan AS menghadapi perang asimetris.
APA YANG HARUS KITA
LAKUKAN?
Fahami lebih mendalam tentang perang
asimetris, strategi dan penerapannya, sebelum semuanya menjadi terlambat.
Karena waktu terus bergulir dan para aktor semakin banyak bergentayangan.
Nasionalisme harus
terus digelorakan, demi terjaganya keberadaan WNI yang bermartabat yang selalu
ikut menjaga dan mempertahankan negara bangsanya agar semakin jaya dalam
bingkai NKRI sampai kapanpun. (sumber: mardoto.com)
CATATAN Oleh : Kolonel
Sus Drs. Mardoto, M.T. (Dosen Akademi Angkatan Udara /
Referensi:
Wikipedia – Asymmetric warfare
The Jakarta Post – Asymmetric warfare, a clearand present threat
Wikipedia – Asymmetric warfare
The Jakarta Post – Asymmetric warfare, a clearand present threat
http://www.army.mil/article/36989/Asymmetric_Warfare_Group/Buffaloe,
David L., Defining Asymmetric Warfare, A National Security Affairs Paper,
No. 58 September 2006.
Fitch, Ed; Asymmetric
Warfare Evolves in Tragic Directions, Special to the Vancouver Sun, July 14,
2014.
[http://www.vancouversun.com/news/Opinion+Asymmetric+warfare+evolves+tragic+directions/10029388/story.html]
Robinson, Linda et.al; Lessons from 13 Years of War Point to a Better U.S.
Strategy, RAND Corporation, 2014
[http://www.rand.org/pubs/research_briefs/RB9814.html].
Mack, Andrew, Why Big
Nations Lose Small Wars: The Politics of Asymmetric Conflict, World Politics
Volume 27/Issue 02, January 1975
[http://web.stanford.edu/class/polisci211z/2.2/Mack%20WP%201975%20Asymm%20Conf.pdf]
The Center for
Asymmetric Warfare: http://www.cawnps.org/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar