Untukmu Agamamu, dan Untukkulah, Agamaku
[Tafsir Surah Al-Kafirun]
Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Inilah di antara prinsip akidah Islam
yang mesti dipegang dan dianut setiap muslim. Namun sebagian orang masih tidak
memahami ayat ini. Jika seorang muslim memahami ayat ini dengan benar, tentu ia
akan menentang keras bentuk loyal pada orang kafir dan berlepas diri dari
mereka. Bentuk loyal pada orang kafir yang terlarang di antaranya dengan
menghadiri perayaan mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ يَا أَيُّهَا
الْكَافِرُونَ ﴿١﴾ لَا أَعْبُدُ مَا
تَعْبُدُونَ ﴿٢﴾ وَلَا أَنتُمْ
عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٣﴾ وَلَا أَنَا عَابِدٌ
مَّا عَبَدتُّمْ ﴿٤﴾ وَلَا أَنتُمْ
عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٥﴾ لَكُمْ دِينُكُمْ
وَلِيَ دِينِ ﴿٦﴾
“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, (1) Aku tidak akan menyembah apa
yang kamu sembah. (2) Dan kamu bukan penyembah Rabb yang aku sembah. (3) Dan
aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, (4) dan kamu tidak
pernah (pula) menjadi penyembah Rabb yang aku sembah. (5) Untukmu agamamu, dan
untukkulah, agamaku”. (6)” (QS. Al Kafirun: 1-6)
Makna Ayat
Ayat tersebut berisi seruan pada orang-orang musyrik secara terang-terangan
bahwa kaum muslimin berlepas diri dari bentuk ibadah kepada selain Allah yang
mereka lakukan secara lahir dan batin. Surat tersebut berisi seruan bahwa orang
musyrik tidak menyembah Allah dengan ikhlas dalam beribadah, yaitu mereka tidak
beribadah murni hanya untuk Allah. Ibadah yang dilakukan orang musyrik dengan
disertai kesyirikan tidaklah disebut ibadah. Kemudian ayat yang sama diulang
kembali dalam surat tersebut. Yang pertama menunjukkan perbuatan yang dimaksud
belum terwujud dan pernyataan kedua menceritakan sifat yang telah ada (lazim).
Di akhir ayat Allah
tutup dengan menyatakan,
لَكُمْ دِينُكُمْ
وَلِيَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. Ayat ini semisal firman
Allah Ta’ala,
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ
عَلَى شَاكِلَتِهِ
“Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.”
(QS. Al Isra’: 84)
أَنْتُمْ بَرِيئُونَ
مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ
“Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas
diri terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Yunus: 41)
لَنَا أَعْمَالُنَا
وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ
“Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu.” (QS. Al
Qashshash: 55)
Ibnu Jarir Ath Thobari menjelaskan mengenai ‘lakum diinukum wa liya diin’,
“Bagi kalian agama kalian, jangan kalian tinggalkan selamanya karena itulah
akhir hidup yang kalian pilih dan kalian sulit melepaskannya, begitu pula
kalian akan mati dalam di atas agama tersebut. Sedangkan untukku yang kuanut.
Aku pun tidak meninggalkan agamaku selamanya. Karena sejak dahulu sudah
diketahui bahwa aku tidak akan berpindah ke agama selain itu.” (Tafsir Ath
Thobari, 24: 704)
Dalam Tafsir Al Bahr Al Muhith, Ibnu Hayyan menafsirkan, “Bagi
kalian kesyirikan yang kalian anut, bagiku berpegang dengan ketauhidanku.
Inilah yang dinamakan tidak loyal (berlepas diri dari orang kafir).”
Lakum diinukum wa liya diin juga bisa terdapat dua makna.
Pertama, bagi kalian akidah kekufuran yang kalian anut, bagi kami akidah Islam.
Kedua, karena diin bisa bermakna al jazaa’, yaitu hari pembalasan, maka
artinya: bagi kalian balasan dan bagiku balasan. Demikian dijelaskan oleh Al
Mawardi dan Muhammad Sayid Thonthowi dalam kitab tafsir keduanya.
Prinsip Seorang Muslim
Inilah prinsip yang sudah jelas diajarkan dalam akidah Islam. Agama ini
mengajarkan tidak loyal atau berlepas diri dari orang kafir, dari peribadatan
mereka, dari perayaan mereka dan dari berbagai hal yang menyangkut agama
mereka. Loyal di sini tidak boleh ada, meskipun dengan bapak, ibu, saudara,
kerabat atau teman karib kita. Di antara bentuk loyal pada orang kafir:
Pertama: Tasyabbuh dengan orang kafir, yaitu menyerupai pakaian
dan adat yang menjadi ciri khas mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ
بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari
mereka” (HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [hal. 1/269]
mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269)
Beda halnya jika hal tersebut sudah tersebar di tengah kaum muslimin dan
tidak ada dalil yang melarang serta tidak ada sangkut paut dengan agama, maka
yang terakhir ini dibolehkan selama tidak lagi jadi ciri khas orang kafir.
Kedua: Turut serta dalam perayaan non muslim.
Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ لَا
يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan perbuatan zur, dan
apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga
kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon: 72)
Ibnul Jauziy dalam Zaadul Masiir mengatakan bahwa ada 8
pendapat mengenai makna kalimat “tidak menyaksikan perbuatan zur”, pendapat
yang ada ini tidaklah saling bertentangan karena pendapat-pendapat tersebut
hanya menyampaikan macam-macam perbuatan zur. Di antara pendapat yang ada
mengatakan bahwa “tidak menyaksikan perbuatan zur” adalah tidak menghadiri
perayaan orang musyrik. Inilah yang dikatakan oleh Ar Robi’ bin Anas. Jadi,
ayat di atas adalah pujian bagi orang yang tidak menghadiri perayaan orang non
muslim. Ini berarti turut dalam perayaan tersebut adalah suatu perbuatan yang
sangat tercela dan termasuk ‘aib(Lihat Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim,
1/483). Oleh karena itu, tidak pantas bagi seorang muslim menghadiri perayaan
natal, mengucapkan selamat natal pada orang nashrani, menghadiri perayaan natal
bersama atau bahkan membantu mereka dalam melaksanakan perayaaan tersebut.
Dalam perayaan Natal, orang Nashrani mengingat-ingat akan kelahiran Yesus
yang dinyatakan sebagai anak Allah. Padahal Allah sendiri menyatakan Dia tidak
memiliki anak dan pernyataan seperti ini adalah suatu kekufuran. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالُوا اتَّخَذَ
الرَّحْمَنُ وَلَدًا (88) لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا (89) تَكَادُ
السَّمَوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ
هَدًّا (90) أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا (91) وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ
أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا (92) إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
إِلَّا آَتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا (93)
“Dan mereka berkata: “Rabb Yang Maha Pemurah mempunyai anak”. (88)
Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, (89)
hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung
runtuh, (90) karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak.
(91) Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.
(92) Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada
Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. (93)” (QS. Maryam: 88-93).
Secara tidak langsung turut dalam perayaan natal dan memberi ucapan selamat,
berarti melegalkan Allah mempunyai anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar